DETIK-DETIK Tongkat Nabi Musa MELAHAP Semua Ular Firaun Para Penyihir Langsung Tobat

Bayangkan sebuah panggung termegah di dunia kuno. Di hadapan seorang raja yang mengaku sebagai tuhan, sebuah pertarungan antara ilusi dan wahyu akan segera terjadi. Ini bukan sekadar adu kesaktian biasa, ini adalah benturan abadi antara kebenaran dan kebatilan, antara mukjizat sejati dan tipu daya sihir terhebat yang pernah ada. Di satu sisi, seorang nabi yang hanya bersenjatakan tongkat kayu. Di sisi lain, seluruh kekuatan sihir dari sebuah kerajaan besar.

Istana Firaun bergemuruh. Sorak-sorai dan cemoohan membahana. Di lantai marmer yang dingin, ular-ular jelmaan sihir mendesis ganas, sisik mereka berkilauan di bawah cahaya obor, menciptakan lautan makhluk melata yang tampak begitu nyata dan mengerikan. Ular-ular itu mengepung dua orang yang berdiri tegak di tengah arena: Nabi Musa dan saudaranya, Harun. Di seberang mereka, para penyihir terbaik dari seluruh Mesir tertawa angkuh. Mereka adalah para master ilusi, pengendali pikiran, dan mereka yakin kemenangan sudah di depan mata. Firaun, dari atas singgasana emasnya, tersenyum puas. Tapi, mereka semua belum tahu… bahwa sebatang tongkat kayu sederhana di tangan Musa, akan segera meruntuhkan pilar-pilar kesombongan mereka dan mengubah tawa mereka menjadi getar ketakutan.

Jadi, bagaimana semua ini bisa terjadi? Kok bisa seorang gembala dari kaum yang diperbudak, berani menantang penguasa absolut Mesir di jantung kekuasaannya? Kisah ini tidak dimulai dari ular dan sihir, tapi dari sebuah perintah suci dan penolakan yang luar biasa sombong.

Semuanya berawal saat Nabi Musa, setelah menerima wahyu dari Allah di Lembah Tuwa, kembali ke Mesir. Ia datang bukan lagi sebagai pangeran yang pernah dibesarkan di istana, tapi sebagai utusan Tuhan Semesta Alam. Misinya sangat jelas: bebaskan kaumnya, Bani Israil, dari perbudakan dan penindasan Firaun.

Ilustrasi

Firaun pada masa itu bukan sekadar raja. Ia adalah seorang tiran dengan kekuasaan mutlak dan kekejaman yang melegenda. Ia tak hanya menguasai rakyat dan tanah, tapi juga menobatkan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah. Kemakmuran Mesir dan melimpahnya emas telah membutakan hatinya. Baginya, setiap kritik adalah pemberontakan.

Ilustrasi

Maka, ketika Musa dan Harun masuk ke istananya, menyampaikan pesan dari Tuhan yang tak terlihat, Firaun hanya tertawa mengejek. "Siapa itu Tuhan semesta alam?" cibirnya. Ini benar-benar sebuah lelucon baginya. Seorang anak yang dulu ia pungut dari Sungai Nil, kini berani membawa nama Tuhan lain di hadapannya?

Dengan sabar, Musa menjelaskan tentang Allah, Sang Pencipta langit dan bumi. Namun, hati Firaun sudah terkunci rapat oleh kesombongan. Ia menuduh Musa gila dan bahkan mengungkit-ungkit masa lalunya untuk mempermalukannya di depan para pembesar istana.

Tapi Nabi Musa tak goyah. Ia berkata, "Aku datang kepadamu dengan bukti nyata dari Tuhanmu." Di sinilah Firaun melihat sebuah kesempatan. Bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk menghancurkan Musa di depan rakyatnya sendiri. Jika Musa bicara soal "bukti", maka Firaun akan melawannya dengan senjata andalannya: sihir.

Pada zaman itu, Mesir memang tersohor sebagai negeri para ahli sihir. Penyihir mereka bukanlah penipu jalanan, melainkan para ahli yang dihormati, yang kemampuannya dianggap sebagai puncak pengetahuan. Mereka bisa menipu mata dan menciptakan pertunjukan yang membuat siapa pun takjub.

"Kalau kamu memang benar, tunjukkan buktimu!" tantang Firaun. Sebagai mukjizat pertama, Musa pun melemparkan tongkatnya, dan atas izin Allah, tongkat itu berubah menjadi ular sungguhan yang bergerak lincah. Kemudian, ia memasukkan tangannya ke dalam jubah, dan saat dikeluarkan, tangannya bersinar putih cemerlang—sebuah cahaya ilahi.

Para pembesar istana terkejut, tapi Firaun dengan cepat meremehkannya. "Ah, ini tidak lain hanyalah sihir biasa," katanya. "Kau datang untuk mengusir kami dari negeri ini dengan sihirmu, kan, wahai Musa?"

Baca Juga Yang Ini:

Kisah Nabi Musa Membelah Laut Merah Dijelaskan Secara Ilmiah

Kisah Misterius Nabi Khidr Manusia Abadi Yang Masih Hidup Hingga Kini

Kisah Pertemuan Umar bin Khattab Dengan Raja Jin

Dengan penuh arogansi, Firaun memutuskan untuk menggelar sebuah pertunjukan akbar. Sebuah festival di hari raya, saat seluruh rakyat Mesir berkumpul. Ia memerintahkan agar semua ahli sihir terhebat dari seluruh penjuru negeri dikumpulkan. Firaun ingin membuktikan sekali dan untuk selamanya, bahwa kekuasaannya dan sihirnya jauh lebih hebat dari Tuhan yang dibawa oleh Musa. Panggung untuk duel terbesar dalam sejarah Mesir pun telah disiapkan.

Hari yang ditentukan pun tiba. Lapangan luas di ibu kota sudah menjadi lautan manusia. Semua orang, dari rakyat jelata hingga bangsawan, berkumpul di bawah terik matahari, tak sabar menyaksikan duel yang akan menentukan nasib keyakinan mereka. Di satu sisi, Musa dan Harun berdiri dengan tenang. Di sisi lain, berbaris puluhan ahli sihir terbaik Mesir.

Para penyihir ini bukan orang sembarangan. Wajah mereka penuh percaya diri. Mereka sudah bernegosiasi dengan Firaun, menanyakan imbalan jika mereka menang. Firaun menjanjikan mereka kedudukan terhormat di lingkaran elite kerajaan. Ini adalah pertaruhan terbesar dalam karir mereka.

Firaun duduk di singgasananya, memandang rendah ke arena. Pertarungan pun dimulai. Para penyihir itu menoleh ke arah Musa. "Wahai Musa," kata juru bicara mereka, "Kau yang akan melempar lebih dulu, atau kami saja?"

Di sini, Nabi Musa menunjukkan kebijaksanaannya. Ia tidak terburu-buru. Ia ingin dunia melihat lebih dulu sehebat apa sihir yang mereka banggakan. Ia ingin ilusi mereka mencapai puncaknya, sehingga saat kebenaran datang, perbedaannya akan terlihat begitu jelas. "Silakan, lemparkanlah," jawab Musa dengan tenang.

Maka, pertunjukan sihir termegah pun dimulai. Para penyihir itu melemparkan tali-temali dan tongkat-tongkat yang mereka bawa ke tengah arena. Sambil merapal mantra, mereka menyihir pandangan mata semua orang. Dan apa yang terjadi selanjutnya benar-benar luar biasa.

Tali dan tongkat itu seolah hidup. Mereka menggeliat, melata, dan berubah wujud menjadi ular-ular yang tak terhitung jumlahnya. Lantai arena yang tadinya kosong, kini menjadi lautan ular yang mendesis dan saling melilit. Penonton terkesiap. Sebagian berteriak ngeri, sebagian bersorak kagum. Sihir mereka berhasil menciptakan pemandangan yang begitu nyata dan mengerikan.

Melihat pemandangan yang dahsyat itu, Nabi Musa, sebagai manusia, sempat merasakan sedikit gentar. Ia khawatir orang-orang akan terlanjur terpedaya oleh tipuan sihir yang begitu hebat. Rasa takut itu adalah hal yang manusiawi, sebuah momen singkat sebelum pertolongan ilahi tiba.

Dan di saat itulah, wahyu Allah turun menenangkan hatinya: "Jangan takut! Sungguh, kamulah yang akan menang. Lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka buat. Sesungguhnya apa yang mereka buat itu hanyalah tipu daya penyihir. Dan penyihir tidak akan menang, dari mana pun ia datang."

Perintah itu begitu jelas. Keraguan di hati Musa sirna seketika. Ia memandang lautan ular di depannya, lalu menatap tongkat kayu sederhana di tangannya.

Dengan nama Allah, Musa melangkah maju dan melemparkan tongkatnya.

Dalam sekejap, keajaiban yang sesungguhnya terjadi. Tongkat itu, begitu menyentuh tanah, tidak sekadar menggeliat. Ia benar-benar berubah menjadi seekor ular raksasa yang hidup—seekor *tsu'banun mubin*, ular besar yang nyata. Bukan ilusi, bukan tipuan mata. Ukurannya jauh melampaui ular-ular sihir itu. Ia bergerak dengan kecepatan dahsyat, memancarkan aura kekuatan yang bukan dari dunia ini.

Sorak-sorai penonton langsung senyap. Tawa para penyihir membeku. Firaun sampai menegakkan tubuhnya, tak percaya dengan apa yang ia lihat.

 Ular raksasa jelmaan tongkat Musa itu langsung bergerak. Dengan mulut menganga, ia mulai menelan ular-ular sihir itu dengan cepat dan rakus. Tak ada perlawanan sama sekali. Ular-ular ilusi itu lenyap ditelan, seakan tak pernah ada. Dalam beberapa saat saja, arena yang tadinya dipenuhi ular sihir, kini bersih total. Yang tersisa hanyalah ular raksasa yang agung itu, sebelum akhirnya kembali menjadi tongkat kayu biasa di tangan Nabi Musa.

Hening.

Keheningan total menyelimuti lapangan. Suara puluhan ribu orang seolah lenyap. Yang tersisa hanyalah keterkejutan mutlak di wajah setiap orang.

Tapi, tak ada yang lebih terguncang daripada para penyihir itu sendiri. Mereka adalah ahlinya. Mereka tahu betul batas kemampuan sihir. Mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah *takhyil*, sebuah ilusi yang membuat tali *terlihat seperti* ular. Mereka tidak pernah benar-benar menciptakan kehidupan.

Dan karena keahlian itulah, mereka tahu persis bahwa apa yang dilakukan Musa bukanlah sihir.

Itu adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang nyata, yang berasal dari kekuatan di luar nalar manusia. Mereka melihat sebuah ciptaan, bukan ilusi. Mereka menyaksikan sebuah mukjizat, tanda kekuasaan Tuhan yang sejati. Perbedaannya begitu jelas, bagaikan siang dan malam.

 Kebenaran itu menghantam mereka seperti petir. Dalam sekejap, semua kesombongan dan harapan akan hadiah dari Firaun runtuh. Mereka saling berpandangan, mata mereka dipenuhi rasa takjub dan pemahaman yang mendalam. Tanpa ragu, mereka serentak menjatuhkan diri, tersungkur bersujud. Bukan kepada Firaun, bukan pula kepada Musa. Mereka bersujud kepada sumber kekuatan yang baru saja mereka saksikan.

Dari posisi sujud, dengan suara bergetar namun penuh keyakinan, mereka serempak berikrar. Sebuah kalimat yang mengguncang singgasana Firaun.

"Kami beriman kepada Tuhan Semesta Alam! Tuhannya Musa dan Harun!"

Pernyataan ini adalah sebuah gempa politik dan spiritual. Para ahli yang diandalkan Firaun kini telah berbalik arah. Mereka memeluk kebenaran di depan umum, tanpa peduli risikonya.

Firaun terpaku, wajahnya pucat pasi. Ini adalah kekalahan yang paling memalukan. Senjatanya sendiri kini berbalik melawannya. Kemarahan yang luar biasa meledak dalam dirinya. "Berani-beraninya kalian beriman kepadanya sebelum aku beri izin?!" teriaknya. Dalam kepanikannya, Firaun menuduh mereka bersekongkol. "Ini pasti tipu muslihat yang sudah kalian rencanakan untuk merebut kekuasaan!"

Ancaman Firaun sangat mengerikan. "Akan kupotong tangan dan kakimu secara bersilang, dan akan kusalib kalian semua di pohon kurma! Biar kalian tahu siapa yang siksanya lebih pedih dan kekal!"

Namun, ancaman siksaan brutal itu tak lagi menggoyahkan iman mereka. Hati mereka sudah dipenuhi cahaya. Dengan keberanian yang luar biasa, mereka menjawab, "Kami tidak akan memilihmu di atas kebenaran yang telah datang. Putuskan saja apa yang ingin kau putuskan. Kekuasaanmu hanya di kehidupan dunia ini saja."

Lalu, mereka memanjatkan doa yang abadi: "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri."

Pertarungan di arena memang telah usai. Tapi pertarungan iman yang sesungguhnya baru saja dimulai. Para penyihir itu, dalam satu hari, telah beralih dari abdi Firaun menjadi pembela Tuhan.

Kisah keberanian para penyihir ini benar-benar luar biasa, bukan? Mereka rela menukar kemewahan dunia dengan kebenaran abadi. Kalau kalian merasa terinspirasi oleh keteguhan iman mereka, jangan lupa tekan tombol ‘like’ di bawah ini sebagai bentuk dukungan untuk kami.

Peristiwa di hadapan Firaun ini lebih dari sekadar cerita tentang ular dan sihir. Ini adalah pelajaran abadi tentang hakikat kekuatan, kebenaran, dan iman.

Pertama, ini membuktikan satu hal: kebenaran dari Allah pada akhirnya akan selalu mengalahkan kebatilan, tak peduli sebesar atau semegah apa pun kebatilan itu terlihat. Firaun mengerahkan semua yang terbaik, tapi semuanya hancur di hadapan satu tanda kebesaran Allah.

Kedua, kisah ini menunjukkan perbedaan mendasar antara mukjizat dan sihir. Sihir adalah tipuan mata, sementara mukjizat adalah perubahan hakikat atas izin Allah. Para penyihir adalah orang yang paling paham bedanya, dan itulah mengapa mereka langsung bersujud.

Ketiga, dan mungkin yang paling menyentuh, adalah pelajaran dari tobatnya para penyihir. Ini adalah contoh luar biasa bagaimana hidayah bisa datang kapan saja. Keberanian mereka menghadapi Firaun mengajarkan kita bahwa iman sejati memberi kekuatan untuk melawan tirani apa pun.

Kisah agung ini mengingatkan kita bahwa setiap zaman punya "Firaun" dan "sihir"-nya sendiri. Entah itu kekuasaan yang menindas, ideologi yang menyesatkan, atau godaan dunia yang memukau. Dan seperti Nabi Musa, setiap orang beriman dibekali "tongkat"—yaitu iman dan doa—untuk menghadapi semua itu.

Pada akhirnya, kemenangan Nabi Musa adalah kemenangan kebenaran ilahi atas kepalsuan manusiawi. Sebuah penegasan bahwa di hadapan kuasa Allah, sihir terhebat sekalipun hanyalah permainan belaka.

Apa hikmah terbesar yang kamu dapatkan dari kisah ini? Apakah keberanian Musa, atau keteguhan iman para penyihir? Tuliskan pendapatmu di kolom komentar ya. Kami senang sekali membaca pemikiran kalian semua.

Kalau kamu suka video kisah-kisah penuh hikmah seperti ini, pastikan untuk subscribe dan nyalakan lonceng notifikasinya, biar nggak ketinggalan episode inspiratif berikutnya. Terima kasih sudah menonton, sampai jumpa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menambahkan Link Blog Lain Pada Blog Kita

Cara membedakan permata asli dan imitasi

Tukaran Link Yuk