Kisah Misterius Nabi Khidr Manusia Abadi yang Masih Hidup Hingga Kini
Bayangkan, di
antara miliaran manusia yang pernah hidup, ada satu sosok yang kisahnya begitu
melegenda hingga melintasi ribuan tahun. Sosok yang kedalaman ilmunya membuat
seorang Nabi sekaliber Musa harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk belajar
darinya. Namanya diselimuti misteri, namun perjalanannya diabadikan dalam
Al-Qur'an. Tapi, inilah pertanyaan terbesar yang membelah pendapat para ulama
selama berabad-abad: apakah sosok misterius ini, Khidr, masih hidup dan
berjalan di antara kita? Ataukah kisahnya telah lama berakhir? Mari kita bedah
salah satu misteri paling menarik dalam sejarah, kisah tentang hamba Allah yang
penuh teka-teki, dan perdebatan sengit tentang status dan kehidupannya.
![]() |
Ilustrasi cerita |
Semua berawal ketika Nabi Musa ‘alaihissalam ditanya oleh kaumnya, Bani Israil, "Siapakah manusia yang paling berilmu di muka bumi?" Dengan keyakinan, sebagai seorang Rasul Ulul Azmi, ia menjawab, "Aku." Jawaban itu, meski beralasan, mendapat teguran lembut dari Allah SWT. Allah mewahyukan bahwa ada hamba-Nya yang lain, di "pertemuan dua lautan", yang dianugerahi ilmu yang tak dimiliki Musa.
Teguran ini
membuka hati Nabi Musa akan luasnya samudra ilmu Allah yang tak bertepi. Dengan
semangat belajar dan kerendahan hati, ia memohon dipertemukan dengan hamba
tersebut. Maka, dimulailah sebuah perjalanan penting. Ditemani seorang
muridnya—yang oleh para ahli tafsir diidentifikasi dari riwayat hadis sebagai
Yusha' bin Nun—Nabi Musa memulai pencariannya. Petunjuk dari Allah pun unik:
mereka harus membawa seekor ikan, dan di tempat ikan itu hidup kembali lalu
melompat ke laut, di sanalah sang guru berada.
Setelah menempuh
perjalanan yang melelahkan, Nabi Musa meminta bekal. Saat itulah sang murid
teringat. "Tahukah engkau ketika kita berlindung di batu tadi? Aku lupa
soal ikan itu... Ikan itu hidup kembali dan melompat ke laut dengan cara yang
aneh." Nabi Musa langsung sadar. "Itulah tempat yang kita cari!"
katanya. Mereka pun bergegas kembali ke titik di mana ikan itu lenyap.
Benar saja, di
sana mereka menemukan seorang hamba Allah yang telah dianugerahi rahmat dan
ilmu langsung dari sisi-Nya. Al-Qur'an menggambarkannya sebagai "ilmu dari
sisi Kami" (*'ilman min ladunna*), yang kemudian menjadi asal-usul istilah
"Ilmu Laduni". Pertemuan agung yang tercatat dalam Surat Al-Kahfi
ayat 60 hingga 82 ini memperkenalkan kita pada sosok yang oleh para ulama
dikenal sebagai Khidr.
Dengan penuh
adab, Nabi Musa meminta izin untuk menjadi murid Khidr. Namun, Khidr memberikan
syarat yang terdengar berat, "Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar
bersamaku. Bagaimana mungkin engkau bisa bersabar atas sesuatu yang
pengetahuanmu tidak cukup untuk memahaminya?" Nabi Musa berjanji akan
bersabar dan takkan bertanya hingga Khidr sendiri yang menerangkan.
Perjalanan
mereka pun dimulai. Di sinilah logika dan kesabaran Nabi Musa diuji
habis-habisan lewat tiga peristiwa yang tampak janggal.
Pertama, saat
mereka menumpang perahu nelayan miskin, Khidr justru melubangi perahu itu di tengah
lautan. Nabi Musa tak bisa menahan diri dan protes, "Mengapa engkau
melubanginya? Engkau bisa menenggelamkan penumpangnya!" Khidr dengan
tenang mengingatkan janjinya.
Kedua, di daratan, mereka bertemu seorang anak laki-laki. Tanpa alasan yang jelas bagi Musa, Khidr membunuh anak itu. Kali ini, protes Nabi Musa lebih keras, "Mengapa engkau membunuh jiwa yang suci? Sungguh, perbuatanmu ini sangat keji!" Lagi-lagi, Khidr mengingatkan, "Bukankah sudah kukatakan, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku?"
Ketiga, mereka
tiba di sebuah negeri yang penduduknya pelit dan tak mau menjamu mereka.
Anehnya, Khidr malah memperbaiki dinding sebuah rumah yang hampir roboh tanpa
meminta imbalan. Kesabaran Nabi Musa sampai di batasnya. "Jika engkau mau,
engkau bisa meminta upah untuk itu."
Di sinilah titik
perpisahan mereka. Tiga kali Nabi Musa gagal memenuhi syarat kesabaran. Sebelum
berpisah, Khidr akhirnya membongkar rahasia di balik tiga tindakannya, yang
semua ternyata ia lakukan atas petunjuk Allah.
Di balik setiap
tindakan Nabi Khidr yang membingungkan, tersimpan kebijaksanaan ilahi yang
mendalam, yang hanya bisa dilihat dengan kacamata ilmu dari Allah.
Tentang perahu
yang dilubangi, Khidr menjelaskan bahwa perahu itu milik nelayan miskin.
"Aku merusaknya karena di depan mereka ada seorang raja zalim yang akan
merampas setiap perahu yang masih bagus." Dengan membuatnya tampak cacat,
Khidr justru menyelamatkan satu-satunya mata pencaharian mereka. Yang terlihat
seperti perusakan, nyatanya adalah penyelamatan.
Tentang anak
yang dibunuh, Khidr berkata bahwa kedua orang tuanya adalah mukmin yang saleh.
"Kami khawatir jika dia besar nanti, dia akan menyeret kedua orang tuanya
pada kesesatan dan kekafiran." Allah berkehendak menggantinya dengan anak
lain yang lebih baik dan berbakti. Yang terlihat seperti kekejian, nyatanya
adalah rahmat untuk menjaga iman orang tua yang taat.
Dan tentang
dinding yang diperbaiki, Khidr mengungkap, "Dinding itu milik dua anak
yatim, dan di bawahnya tersimpan harta peninggalan untuk mereka. Ayah mereka
adalah orang yang saleh." Allah ingin dinding itu tetap kokoh sampai
mereka dewasa, agar mereka bisa mengambil warisan itu. Yang terlihat seperti
tindakan sia-sia, sejatinya adalah cara Allah menjaga amanah karena kesalehan
seorang ayah.
Kisah ini
memberi kita pelajaran mendasar: betapa terbatasnya ilmu manusia di hadapan
ilmu Allah. Apa yang kita sangka buruk, bisa jadi baik di sisi-Nya, dan
sebaliknya. Selalu ada hikmah di balik takdir, meski akal kita tak selalu mampu
menjangkaunya.
Setelah
pertemuannya dengan Nabi Musa, misteri tentang Khidr justru semakin dalam. Dua
pertanyaan besar menjadi perdebatan sengit di kalangan ulama selama
berabad-abad: Pertama, apakah ia seorang Nabi atau seorang Wali? Kedua, apakah
ia masih hidup?
Status Khidr
sendiri diperselisihkan. Sebagian besar ulama berpendapat ia adalah seorang
nabi, karena ia menerima wahyu dan pengetahuan ghaib yang bahkan tidak dimiliki
Nabi Musa. Argumennya, tindakannya didasari perintah langsung dari Allah,
sebagaimana ucapannya, "Aku tidak melakukannya menurut kemauanku
sendiri." (QS. Al-Kahfi: 82). Namun, ulama lain berpendapat ia adalah
seorang wali (orang suci) yang diberi karamah luar biasa.
Perdebatan
paling panas adalah tentang kehidupannya.
Satu kubu, yang
populer di kalangan ahli tasawuf dan dipegang oleh beberapa ulama besar seperti
Imam An-Nawawi dan As-Suyuthi, meyakini bahwa Khidr masih hidup. Mereka
bersandar pada banyaknya riwayat dan kesaksian dari para wali dan orang-orang
saleh yang mengaku pernah bertemu dengannya. Imam An-Nawawi bahkan menyebut
bahwa kesepakatan di kalangan para sufi adalah Khidr masih hidup.
Namun, ada
pandangan tandingan yang sangat kuat dari para ahli hadis dan teolog terkemuka
seperti Imam Bukhari, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. Mereka
berpendapat bahwa Khidr telah wafat, dengan argumen yang kokoh dari Al-Qur'an
dan Hadis.
Dalil utama
mereka adalah firman Allah, "Dan Kami tidak menjadikan seorang manusia pun
sebelum engkau (Muhammad) hidup abadi." (QS. Al-Anbiya': 34). Ayat ini
dipandang sebagai penegasan bahwa tidak ada manusia yang kekal, termasuk Khidr.
Dalil kedua
adalah hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim. Menjelang akhir hayatnya, Nabi
Muhammad SAW bersabda, "Tahukah kalian malam ini? Sesungguhnya, seratus
tahun dari sekarang, tidak akan ada seorang pun yang ada di muka bumi (saat
ini) yang masih hidup." Bagi mereka, jika Khidr hidup di zaman Nabi, hadis
ini memastikan ia telah wafat seratus tahun sesudahnya.
Selain itu, jika
Khidr masih hidup di masa Rasulullah, ia wajib datang, beriman, dan membantu
perjuangan Nabi Muhammad. Tidak adanya riwayat shahih mengenai pertemuan ini
menjadi argumen kuat bahwa ia telah wafat.
Jadi, siapakah
Khidr? Seorang nabi misterius pembawa ilmu langit? Atau seorang wali abadi yang
masih mengembara? Apakah kisahnya sudah berakhir ribuan tahun lalu, atau ia
masih berjalan di antara kita?
Sebagian ulama
dan kaum sufi meyakini keberadaannya, didukung oleh riwayat-riwayat spiritual.
Di sisi lain, banyak ahli hadis dan teolog berpegang pada dalil-dalil kuat yang
menyatakan ia telah wafat seperti manusia lainnya.
Pada akhirnya,
kebenaran mutlak mengenai hal gaib ini hanyalah milik Allah SWT. Namun,
terlepas dari apakah ia masih hidup atau telah tiada, pelajaran dari kisahnya
akan terus relevan: tentang kerendahan hati untuk terus belajar, kesabaran
dalam menghadapi takdir yang tak terpahami, dan keyakinan bahwa di balik setiap
kejadian, tersimpan kebijaksanaan ilahi yang tak terbatas.
Bagaimana
menurutmu? Apakah kamu lebih condong ke pendapat bahwa beliau masih hidup, atau
sudah wafat? Bagikan pandanganmu dengan santun di kolom komentar, mari kita
bertukar wawasan.
Kalau kamu
merasa pembahasan ini bermanfaat, jangan lupa bagikan agar ilmunya menyebar.
Dan pastikan kamu sudah subscribe channel ini supaya tidak ketinggalan
kisah-kisah penuh misteri dan hikmah lainnya. Terima kasih sudah menyimak,
*Wallahu a'lam bish-shawab*.
Komentar
Posting Komentar