Syirik yang Menyelamatkan? Kisah Ajaib Murid Habib al-Haddad di Alam Kubur
Sebuah Jawaban yang Menggoncang Arasy
Kita semua diajari sejak kecil,
bahwa ketika kelak kita berbaring sendirian di liang lahat, dua malaikat agung
yang garang, Munkar dan Nakir, akan datang. Mereka akan mengajukan tiga
pertanyaan inti yang menentukan nasib kita di alam barzakh:
·
Man Rabbuka? (Siapa Tuhanmu?)
·
Man Nabiyyuka? (Siapa Nabimu?)
·
Wa ma dinuka? (Apa agamamu?)
Jawaban yang kita harapkan bisa
kita ucapkan dengan fasih adalah: "Allah Tuhanku, Muhammad Nabiku, dan
Islam agamaku."
| Ilustrasi |
Namun, ada sebuah kisah menakjubkan yang dinukil dari para salafus shalih. Seorang murid dari Sang Imam, Quthbul Irsyad Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, berpulang ke rahmatullah.
Di dalam kuburnya, seperti yang
lainnya, ia didatangi oleh Munkar dan Nakir. Ketika ditanya, "Siapa
Tuhanmu?"
Lisan sang murid, alih-alih
menjawab "Allah," justru dengan mantap mengucapkan, "Tuhanku
adalah guruku, Habib Abdullah al-Haddad."
Kita yang mendengar ini mungkin
langsung bergidik ngeri. "Syirik akbar!" "Kalimat kufur!"
"Bagaimana mungkin?!"
Tapi tunggu. Keajaiban terjadi.
Dikisahkan, kedua malaikat itu
terdiam. Mereka tidak jadi menghunuskan alat siksanya. Justru, mereka
meninggalkannya seraya berkata, "Tidurlah, tak ada siksa bagimu."
Sebuah riwayat lain menyebutkan, Allah SWT berfirman kepada malaikat,
"Bebaskan dia. Jawabannya itu benar di sisi-Ku, meski salah di sisi
kalian."
Luar biasa. Sebuah jawaban yang
di telinga syariat terdengar sebagai puncak kemusyrikan, justru di mata hakekat
menjadi sebab keselamatan.
Bagaimana kita, kaum awam, bisa
memahami paradoks ini? Untuk itu, kita harus meminjam "kacamata" kaum
sufi.
Membedah Hakekat di Balik
Ucapan
Perlu kita pahami, jawaban di
alam kubur bukanlah hasil hafalan. Ia adalah pantulan murni dari apa yang
terpatri di dalam hati selama hidup. Lisan takkan bisa berbohong di alam itu.
Apa yang diucapkan sang murid
bukanlah pernyataan teologis (ilmu kalam), melainkan pernyataan dzauq
(rasa spiritual) dan mahabbah (cinta).
Mari kita lihat dari tiga sudut
pandang tasawwuf:
1. Fana' fil Mursyid
(Keleburan dalam Guru)
Dalam perjalanan spiritual (suluk),
seorang murid dituntut untuk "mati sebelum mati". Ini berarti
mematikan ego, kehendak pribadi, dan rasa "aku"-nya. Tahapan awalnya
adalah Fana' fil Mursyid atau lebur dalam bimbingan gurunya.
Sang murid ini telah mencapai
titik di mana ia tidak lagi "melihat" dirinya sendiri. Seluruh
hidupnya, napasnya, dan kesadarannya telah ia serahkan sepenuhnya untuk
mengikuti (ittiba') sang guru, yang ia yakini sebagai penyambung lidah
Rasulullah SAW dan penunjuk jalan menuju Allah.
Ketika ditanya "Siapa Tuhanmu?",
kesadaran dirinya sudah lebur. Yang ada dalam hatinya hanyalah sosok yang
menjadi sebab ia mengenal Allah. Yang ada dalam benaknya hanyalah sang
pembimbing. Ia menjawab apa yang paling mendominasi hatinya.
2. Sang Guru adalah Wasilah
(Perantara) Hidayah
Bagi sang murid, Habib Abdullah
al-Haddad adalah mazhhar (tempat terlihatnya) sifat-sifat Allah.
·
Melalui lisan gurunya, ia mendengar Kalam
(firman) Allah.
·
Melalui kasih sayang gurunya, ia merasakan Rahman
dan Rahim Allah.
·
Melalui ilmu gurunya, ia mengenal keagungan Al-'Alim
(Yang Maha Tahu).
Ketika ia menjawab
"Guruku," itu adalah ungkapan dari mata hatinya (bashirah). Ia
tidak menuhankan Dzat gurunya, tetapi ia menyatakan bahwa "Tuhan
yang aku kenal, yang aku sembah, adalah Tuhan yang diajarkan dan ditunjukkan
kepadaku oleh guruku."
Baginya, tanpa sang guru, ia
tetap dalam "kegelapan". Gurunya adalah pelita yang Allah kirimkan
untuknya. Sebagai bentuk adab dan pengakuan tertinggi atas wasilah
ini, ia menyebut sang sebab.
Baca Juga Yang Ini:
Syirik Yang Menyelamatkan? Kisah Ajaib Murid Habib Abdullah Al-Haddad di Alam Kubur
Dua Jenis Peristirahatan di Alam Barzakh
Pasukan Gajah Abrahah Dan Rahasia Burung Ababil
3. Allah Menilai Shidq (Kejujuran) Hati
Ini adalah poin terpenting.
Allah tidak menghukumnya karena Allah Maha Tahu isi hatinya. Allah tahu bahwa
di dalam hati murid itu tidak ada niat sedikit pun untuk menyekutukan-Nya.
Yang Allah lihat adalah:
·
Kejujuran (Shidq): Ia menjawab hal yang paling
jujur dari lubuk hatinya.
·
Kecintaan (Mahabbah): Hatinya meluap oleh
cinta kepada sang wali (kekasih Allah), dan Allah mencintai orang yang
mencintai kekasih-Nya.
·
Kepatuhan (Ittiba'): Jawabannya adalah
bukti bahwa ia telah patuh total pada bimbingan gurunya, yang tak lain adalah
bimbingan menuju Allah.
Allah menyelamatkannya bukan
karena kalimat jawabannya, tetapi karena substansi di balik
jawaban itu. Allah melihat hati yang telah fana' (lebur) dalam kecintaan
kepada sang perantara yang ditunjuk-Nya.
💡 Pelajaran untuk Kita
yang Awam
Kisah ini mengandung dua mata
pisau.
Bagi kita, kaum awam,
jangan pernah sekali-kali mencoba meniru ucapan ini. Jalan kita adalah jalan
syariat yang lurus. Jika ditanya, jawaban kita wajib "Allah Tuhanku".
Mengucapkan hal selain itu dengan kesadaran penuh adalah syirik yang
nyata.
Namun, sebagai pelajaran
(ibrah), kisah ini mengajarkan kita betapa dahsyatnya kekuatan mahabbah
(cinta) dan adab kepada seorang guru Mursyid (pembimbing
spiritual).
Kisah ini adalah tentang hakekat,
bukan syariat. Ini adalah tentang rasa (dzauq), bukan kata
(lafazh). Ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah, kejujuran hati yang lahir
dari cinta sejati kepada jalan-Nya (yang diwakili oleh sang guru) bisa
mengalahkan kekakuan bentuk lahiriah.
Semoga kita semua dikaruniai
kemampuan untuk menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir dengan fasih, dan semoga
kita dikumpulkan bersama para guru yang kita cintai, yang kelak akan
menyambungkan kita kepada Rasulullah SAW, dan akhirnya kepada Allah SWT.
Wallahu a'lam bish-shawab.
"Sebuah kisah yang mendalam
dan butuh perenungan. Apa hikmah yang bisa Anda petik dari kisah ini, Sahabat?
Mari kita diskusikan di kolom komentar dengan penuh adab."
Komentar
Posting Komentar