Menjelaskan Cuplikan Ceramah: Siapa Tuhan Kamu? Jawabannya Guruku Habib Abdullah al Haddad

Cahaya Sang Quthb dan Jawaban di Alam Barzakh: Menjaga Adab di Tengah Riuh Hinaan

Di tengah hiruk pikuk dunia digital yang kerap membuat hati gundah, mari sejenak kita menoleh ke Kota Tarim, Hadhramaut, sebuah kota yang masyhur melahirkan para pembawa lentera ilmu dan ketenangan jiwa. Dari sanalah, muncul seorang wali besar, Al-Imam Al-Quthb Al-Ghawts Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, penyusun Ratib Al-Haddad yang dibaca oleh jutaan umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Beliau bukan sekadar ulama biasa. Di usia empat tahun, penglihatan fisik beliau direnggut, namun Allah menggantinya dengan mata batin yang jauh lebih tajam. Di mata para ulama sezamannya, beliau adalah "Sultan Bani Alawi", seorang wali dengan derajat tertinggi (Al-Quthbul Ghauts) yang menjadi rujukan spiritual selama puluhan tahun. Keistimewaan beliau terletak pada kesempurnaan syariat, keteguhan ibadah, dan keluasan ilmu yang tak terhingga, menjadikannya lentera bagi umat.

Kisah di Balik Jawab "Siapa Tuhanmu?": Kekuatan Mahabbah Guru

Dalam tradisi para pecinta orang-orang saleh, terdapat sebuah kisah yang begitu mengharukan tentang kekuatan mahabbah (cinta) seorang murid kepada gurunya. Kisah ini sering menjadi perbincangan, bahkan hingga memunculkan perbedaan pendapat tentang keabsahannya secara narasi hadis, namun hikmahnya sangat mendalam.

Konon, suatu ketika seorang murid dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat. Dalam prosesnya di alam Barzakh, ia didatangi Malaikat Munkar dan Nakir.

"Siapa Tuhanmu?" tanya Malaikat dengan suara yang menggetarkan.

Sang murid, dengan ketenangan yang luar biasa, tidak langsung menjawab 'Allah', melainkan mengucapkan, "Guru saya, Al-Habib Abdullah Al-Haddad!"

Malaikat Munkar dan Nakir terdiam sejenak. Mereka lalu bertanya lagi dengan pertanyaan yang seharusnya dijawab: "Siapa Nabi-mu?"

Lagi-lagi, murid tersebut menjawab, "Guru saya, Al-Habib Abdullah Al-Haddad!"

Lantas, bagaimana akhir kisah ini?

Diriwayatkan, bahwa Malaikat itu pun pergi dan kemudian kembali dengan membawa jawaban dari sisi Allah SWT. Mereka berkata:

"Tuhanmu telah berfirman: 'Benar engkau. Karena cintamu yang mendalam kepada gurumu, yang telah mengajarimu dan menunjukkanmu jalan kepada-Ku, maka cukuplah cintamu itu sebagai pengakuanmu akan diri-Ku. Masukkan dia ke dalam surga-Ku tanpa hisab!'"

Hikmah yang Terkandung:

Kisah ini bukan bertujuan untuk mengganti rukun akidah. Pertanyaan kubur yang baku adalah Man Rabbuka? (Siapa Tuhanmu?), Wa man Nabiyyuka? (Siapa Nabimu?). Namun, hikmah karamah (kemuliaan) ini adalah penekanan pada hakikat mahabbah dan adab.

  1. Cinta yang Mengakar: Jawaban sang murid menunjukkan betapa ajaran tauhid dan pengenalan kepada Allah telah mengakar kuat melalui bimbingan gurunya. Guru adalah wasilah (perantara) utama yang mengenalkan murid kepada Allah dan Rasul-Nya.
  2. Karunia Allah atas Adab: Kisah ini mengajarkan bahwa Allah bisa memuliakan hamba-Nya dengan cara yang tak terduga. Keikhlasan, ketulusan, dan adab yang tinggi kepada guru, yang merupakan pewaris Nabi, menjadi sebab turunnya rahmat dan kemudahan di saat yang paling genting, yaitu di alam kubur.

Intinya, jika cinta kepada orang saleh begitu kuat, ia bisa menjadi 'benteng' keselamatan dari kegelisahan.

Baca Juga yang ini:

Pasukan Gajah Abrahah Dan Rahasia Burung Ababil

Saat kita mengagumi kemuliaan Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan para pewaris Nabi lainnya, kita dihadapkan pada realitas pahit di media sosial hari ini: banyak cuplikan ceramah para habaib (keturunan Nabi) yang dipotong, dipelintir, dan dijadikan bahan hinaan.

Isu ini adalah ujian besar bagi umat. Ketika sebuah narasi, terkadang yang diambil dari sisi karamah atau pandangan spiritual yang mendalam—seperti kisah di atas—atau bahkan hanya potongan kalimat yang terlepas dari konteks, diubah menjadi alat untuk merendahkan dan menyulut kebencian.

Refleksi Kita:

  1. Adab dan Ilmu: Para habaib adalah Dzurriyah (keturunan) Rasulullah SAW. Menghina mereka, apalagi dengan niat merusak kehormatan, berpotensi besar memicu murka Allah dan Rasul-Nya. Adab yang diajarkan para ulama salaf adalah menghormati mereka, karena di dalam diri mereka mengalir darah suci Nabi.
  2. Bahaya Potongan Konten: Kita hidup di era informasi yang terfragmentasi. Satu cuplikan berdurasi 30 detik bisa menghancurkan reputasi yang dibangun puluhan tahun. Kewajiban kita adalah tabayyun (klarifikasi), mencari konteks asli ceramah, dan menolak berpartisipasi dalam penyebaran kebencian.
  3. Fokus pada Esensi: Daripada sibuk mencari-cari kesalahan, mari kita ambil warisan keilmuan para habaib, seperti ajakan Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk istiqamah berzikir melalui Ratib Al-Haddad dan mengamalkan ajaran tasawuf dalam kitab Risalatul Mu'awanah.

Penutup:

Semoga dengan mengingat kembali keistimewaan dan hikmah dari para ulama saleh seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad, hati kita semakin lembut, adab kita semakin tinggi, dan kita dijauhkan dari fitnah yang merusak keutuhan umat, terutama fitnah ghibah dan hinaan di media sosial.

 (Tinggalkan komentar Anda di bawah. Bagaimana menurut Anda tentang pentingnya adab kepada guru dan ulama di era digital ini?)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menambahkan Link Blog Lain Pada Blog Kita

Cara membedakan permata asli dan imitasi

10 Tips Menjadi Pengusaha Sukses