Pasukan Gajah Abrahah dan Rahasia Burung Ababil
Prolog: Gajah yang Mengancam Cahaya
Matahari
gurun yang terik menyengat kulit. Di tahun yang kelak akan dikenal sebagai
'Tahun Gajah', sebuah arak-arakan mengerikan bergerak perlahan menuju lembah
Mekkah yang sunyi.
Pemimpin
arak-arakan itu adalah Abrahah al-Ashram, Raja Yaman yang angkuh dan dipenuhi
rasa iri. Ia telah membangun gereja megah di Sana'a, tetapi ia tahu, hati
orang-orang Arab tetap tertambat pada sebuah bangunan kubus sederhana yang
diselimuti kain, yaitu Ka'bah. Kemarahannya membakar, dan ia bersumpah akan
merobohkan Baitullah itu.
Pasukan
Abrahah bukanlah pasukan biasa. Mereka perkasa, bersenjata lengkap, dan yang
paling menakutkan, mereka membawa serta Mahmud, seekor gajah
raksasa—simbol kekuatan yang tak tertandingi di masa itu. Langkah kakinya yang
berat menggetarkan bumi, mendeklarasikan kehancuran yang akan datang.
Pasukan gajah raja Abrahah |
Penduduk
Mekkah panik. Mereka tahu, melawan pasukan sebesar itu adalah bunuh diri. Abdul
Muththalib, kakek Nabi Muhammad, yang saat itu menjadi pemimpin Mekkah, hanya
bisa memandang ke langit. Setelah bernegosiasi singkat dengan Abrahah—yang
bahkan menolak mengembalikan unta-unta curiannya—Abdul Muththalib melakukan
satu hal yang paling rasional: meminta kaumnya mengungsi ke bukit-bukit
sekitar.
"Aku
adalah pemilik unta-unta itu," katanya kepada Abrahah, "dan Rumah itu
memiliki Pemilik yang akan menjaganya."
Meninggalkan
Ka'bah, Abdul Muththalib berdiri di depan gerbang perunggu, menengadah, dan
memanjatkan doa yang sederhana namun penuh keyakinan, "Ya Allah, aku tidak
berharap pada siapa pun selain Engkau. Lindungilah Rumah-Mu!"
Lalu,
ia dan seluruh penduduk Mekkah menjauh, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Ka'bah
ditinggalkan, sendirian, di hadapan gajah raksasa dan ribuan prajurit.
Baca Juga Yang Ini:
Rahasia Tinggi Nabi Adam Terbongkar: Pelajaran Unik Untuk Postor Anak Cucu Di Abad 21
Siapa yajuj dan majuj sebenarnya?
Mengungkap mitos dan fakta: Kehidupan bangsa arab di makkah sebelum datangnya islam
Keesokan
harinya, Abrahah memerintahkan pasukannya bergerak. Mereka mengarahkan Mahmud
untuk menghancurkan Ka'bah.
"Majulah, Mahmud! Robohkan!" teriak sang pawang.
Namun,
sesuatu yang luar biasa terjadi. Mahmud yang perkasa itu tiba-tiba berlutut. Ia
menancapkan belalainya ke tanah, mematung. Para pawang memukulnya,
mencambuknya, dan bahkan menusuknya, tetapi sang gajah menolak untuk bergerak maju
menuju Ka'bah. Anehnya, ketika mereka mencoba mengarahkan Mahmud ke arah lain,
ke arah Yaman, gajah itu segera berdiri dan bergegas melangkah. Tetapi begitu
diarahkan kembali ke Ka'bah, ia kembali berlutut.
Kebingungan
dan kemarahan melanda pasukan Abrahah. Mereka tidak mengerti. Ada kekuatan yang
menahan mereka, kekuatan yang tak terlihat.
Babak III: Pasukan dari Langit
Saat
kekacauan terjadi di darat, langit di atas kepala mereka tiba-tiba berubah.
Dari
ufuk, muncul titik-titik hitam yang semakin lama semakin membesar. Mereka
datang dengan jumlah yang tak terhitung, terbang dalam formasi teratur, memecah
keheningan dengan suara kepakan sayap yang ganjil.
Mereka adalah Ababil.
Burung-burung
kecil ini, tak lebih besar dari burung pipit biasa, terbang membawa misi ilahi.
Setiap ekor Ababil membawa tiga butir batu kecil: satu di paruhnya dan dua di
cengkeraman kakinya. Batu-batu itu, konon, adalah batu Sijjil, batu yang
keras seperti kerikil yang dipanaskan.
Tanpa
peringatan, burung-burung itu mulai melepaskan muatan mereka.
"Ssstt! Tak! Ssstt! Tak!"
Kerikil-kerikil
kecil itu, yang seharusnya tak berarti, ternyata memiliki kekuatan yang
dahsyat. Setiap butir yang jatuh mengenai prajurit Abrahah, menembus baju besi,
kulit, bahkan tulang, lalu keluar dari sisi lain tubuh mereka.
Jeritan
kengerian memecah udara. Pasukan gajah yang semula percaya diri kini menjadi
sasaran empuk hujan batu dari langit. Tak ada tempat berlindung. Gajah-gajah
pun berbalik, menginjak-injak balik prajurit mereka sendiri dalam kepanikan
yang tak terkendali.
Abrahah
sendiri tidak luput. Sebuah batu kecil mengenainya, dan ia mulai merasakan
kehancuran perlahan di dalam dirinya. Tubuhnya membusuk saat ia berusaha
melarikan diri kembali ke Yaman.
Epilog: Rumah Itu Selamat
Ketika
matahari tenggelam, yang tersisa di lembah Mekkah bukanlah reruntuhan Ka'bah,
melainkan mayat-mayat tentara Abrahah yang hancur, menyerupai daun-daun yang
dimakan ulat.
Penduduk
Mekkah yang menyaksikan dari bukit-bukit terdekat turun, takjub. Mereka melihat
sebuah keajaiban besar: kekuatan terbesar di zaman itu telah dihancurkan
oleh makhluk-makhluk terkecil. Ka'bah berdiri tegak, tak tergores,
dilindungi oleh Pemiliknya.
Kisah
Ababil melawan Pasukan Gajah menjadi pengingat abadi bahwa tidak ada kekuatan
yang lebih besar dari kehendak Tuhan. Ia mengajarkan, kesombongan akan selalu
dikalahkan, dan bahkan dengan hal yang paling sederhana—seperti sebutir kerikil
yang dijatuhkan oleh burung kecil—Ia dapat mengubah sejarah.
#TahunGajah #KisahAbabil #SejarahIslam #MukjizatMekkah
#KisahInspiratif
Komentar
Posting Komentar