Jejak Hijrah Sang Imam: Mengapa Para Habib Pindah dari Irak ke Hadramaut?

Kisah Sebuah Pelayaran Menjauhi Fitnah

Pernahkah Anda bertanya-tanya, "Para Habaib (sebutan mulia untuk dzurriyat atau keturunan Rasulullah SAW) yang ada di Indonesia, jejak leluhur mereka mayoritas berasal dari Hadramaut, Yaman. Tapi tunggu dulu... bukankah Rasulullah SAW ada di Madinah? Bukankah Sayyidina Ali bin Abi Thalib (yang merupakan pangkal silsilah para Habaib) wafat di Kufah, Irak?"

Lalu, mengapa "pusat" mereka seolah bergeser jauh ke selatan, ke sebuah lembah yang kering namun diberkahi bernama Hadramaut?

Ini bukanlah sebuah kebetulan. Ini adalah kisah tentang sebuah hijrah besar, sebuah perjalanan spiritual yang dipimpin oleh seorang Imam Agung untuk menyelamatkan akidah dan warisan leluhurnya.

Mari kita putar waktu kembali ke abad ke-10 Masehi, atau sekitar tahun 300-an Hijriah.

Ilustrasi Habib
Suasana "Panas" di Negeri Irak

Kisah kita berpusat pada seorang tokoh mulia: Imam Ahmad bin Isa. Beliau adalah cicit dari Imam Ja'far ash-Shadiq, seorang keturunan Rasulullah SAW yang sangat dihormati.

Imam Ahmad bin Isa tinggal di Basra, Irak. Pada masa itu, Irak (khususnya Basra dan Baghdad) adalah pusat peradaban dunia. Ilmu pengetahuan, perdagangan, dan kekuasaan berkumpul di sana di bawah naungan Kekhalifahan Abbasiyah.

Namun, di mana ada gula, di situ ada semut. Di mana ada kekuasaan dan kemewahan, di situ pula sering timbul fitnah.

Pada zaman itu, Irak sedang dilanda "badai" dari berbagai penjuru:

  1. Fitnah Pemikiran (Ideologi): Berbagai aliran dan sekte bermunculan. Ada Mu'tazilah, Qaramithah, dan berbagai pemikiran filosofis yang mulai menggerus kemurnian akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Terjadi banyak perdebatan kusir, saling hujat, bahkan pertumpahan darah karena perbedaan ideologi.
  2. Fitnah Politik: Kekuasaan Abbasiyah mulai melemah. Terjadi banyak pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Keturunan Nabi (Ahlul Bait) seringkali menjadi "magnet" politik. Mereka dikejar-kejar, diajak bersekutu, atau justru dicurigai akan merebut kekuasaan.
  3. Fitnah Dunia (Kemewahan): Sebagai pusat peradaban, gaya hidup mewah dan materialistis mulai meracuni masyarakat. Fokus dari ibadah mulai bergeser ke pengejaran harta dan takhta.

Keputusan Besar Sang Imam: "Hijrah!"

Imam Ahmad bin Isa melihat semua ini dengan mata batin yang jernih. Beliau resah.

Beliau tidak takut miskin. Beliau tidak takut dibenci. Yang beliau takutkan adalah rusaknya akidah dan akhlak anak-cucunya. Beliau tidak ingin dzurriyat Rasulullah SAW yang mulia ini terseret dalam pusaran fitnah politik dan kemewahan dunia yang melalaikan.

Beliau sadar, jika tetap tinggal di Basra, sangat sulit menjaga kemurnian ajaran sang kakek, Rasulullah SAW.

Maka, di tengah malam, beliau mengumpulkan keluarga dan pengikut setianya. Beliau mengambil keputusan berat yang terinspirasi dari hijrah kakek buyutnya, Sang Nabi: "Kita akan pindah. Kita hijrah!"

Beliau melepaskan semua harta, kebun kurma, dan rumah mewahnya di Basra. Beliau hanya membawa apa yang bisa dibawa, dan yang terpenting, membawa "harta" berupa iman dan ilmu. Beliau kemudian dijuluki "Al-Muhajir", yang artinya "Orang yang Berhijrah."

Baca Juga Yang Ini:

Syirik Yang Menyelamatkan? Kisah Ajaib Murid Habib Abdullah Al-Haddad di Alam Kubur

Dua Jenis Peristirahatan di Alam Barzakh

Tumbal Terakhir Sungai Nil Kisah Surat Sakti Umar bin Khattab

Mengapa Memilih Hadramaut?

Perjalanan itu tidak mudah. Dari Irak, beliau berlayar menuju Hijaz. Beliau singgah di Makkah dan Madinah untuk berziarah ke makam leluhurnya. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan jauh ke selatan, menuju negeri Yaman.

Beliau tidak memilih Sana'a (ibu kota Yaman) yang ramai. Beliau justru memilih lembah Hadramaut.

Kenapa Hadramaut? Dari kacamata kaum sufi dan ahli hakekat, pilihan ini penuh makna:

  1. Benteng Spiritual yang Terisolasi: Hadramaut pada masa itu adalah daerah yang "terlupakan". Ia terpencil, dikelilingi gurun dan pegunungan tandus. Jauh dari hiruk pikuk politik di Baghdad, Kairo, atau Damaskus. Ini adalah tempat yang sempurna untuk "bersembunyi" dari fitnah dunia.
  2. Tanah yang "Sunyi" untuk Tarbiyah: Imam Al-Muhajir tidak mencari kekuasaan. Beliau mencari tempat yang "sunyi" untuk fokus beribadah, mengajarkan ilmu, dan mendidik (tarbiyah) keluarganya. Hadramaut adalah "kawah candradimuka" yang ideal.
  3. Menyemai Dakwah di Lahan Baru: Hadramaut saat itu bukanlah "Kota Sejuta Wali" seperti sekarang. Masih ada sisa-sisa pemahaman non-Sunni (seperti Ibadi). Imam Al-Muhajir datang bukan ke tempat yang sudah "jadi", tapi ke tempat yang perlu "digarap". Beliau datang sebagai pembawa cahaya murni akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah (mazhab Syafi'i).

Benih yang Tumbuh Menjadi Hutan

Di Hadramaut (khususnya di daerah bernama Hajrain, lalu ke Husayyisah), Imam Ahmad Al-Muhajir menanam benih.

Benih itu adalah anak-cucunya. Mereka dididik dalam kesederhanaan, kedalaman ilmu, dan akhlak yang luhur, jauh dari godaan politik dan harta.

Dari benih inilah, beberapa generasi kemudian, lahirlah para Imam besar, para wali agung yang kita kenal. Dari sinilah lahir para penyusun Ratib, para ulama, dan para dai yang kemudian berlayar lagi. Mereka berhijrah sekali lagi, bukan lagi untuk lari dari fitnah, tapi untuk menyebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Nusantara kita.

Jadi, kepindahan para Habib ke Hadramaut adalah sebuah strategi spiritual yang visioner. Sebuah hijrah untuk menyelamatkan (preservasi) akidah dan mempersiapkan (propagasi) generasi baru para pendakwah yang tangguh.

Wallahu a'lam bish-shawab.

"Kisah hijrah Imam Ahmad Al-Muhajir ini mengajarkan kita tentang prioritas: menjaga iman di atas segala kemewahan dunia. Apa hikmah lain yang bisa Sahabat petik? Mari berbagi di kolom komentar."

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Menambahkan Link Blog Lain Pada Blog Kita

Cara membedakan permata asli dan imitasi

Cara Memperbaiki Hasil Cetakan Tinta Printer Yang Kabur